Maandag 09 September 2013

Cerdas Menjual Kreativitas

1
2
3



Industri ekonomi kreatif semakin bergeliat di negeri kita dengan tingkat pertumbuhan sekitar 7.6%. Bahkan turut memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian nasional, yakni sekitar Rp 468 triliun (2010). Ketika krisis keuangan global melanda tahun 2008 silam, sektor ekonomi ini pun terbukti mampu bertahan.

Ekonomi kreatif berbasis pada ketrampilan dan kreativitas individu untuk menciptakan produk atau jasa yang bernilai ekonomis. Mengacu pada kondisi tersebut, usaha yang terkait dengan dunia kreatif punya peluang untuk terus berkembang. Dibuktikan dengan semakin banyaknya pelaku bisnis yang mengandalkan modal kreativitas. Bila tertarik merintis usaha sendiri, kenapa tidak memulainya dari mengeksplorasi kreativitas Anda untuk menghasilkan barang atau jasa yang bisa dijual?

Karier & Uang / Keuangan & Bisnis

Cerdas Menjual Kreativitas

1
2
3


Happynomic = Happy + Economic
“Ah, tapi saya bukan orang yang kreatif.” Anggapan seperti inilah yang menjadi salah satu penghambat langkah kita untuk memulai bisnis kreatif. Menurut Yoris Sebastian, pendiri OMG Creative Consulting, setiap orang pada dasarnya telah memiliki potensi untuk menjadi kreatif. Entah itu pebisnis, guru, bahkan juga ibu rumah tangga. Yang terakhir ini pasti telah Anda buktikan sendiri, misalnya ketika mengelola keuangan rumah tangga dengan dana atau waktu terbatas.  Jika potensi itu terus diasah, maka kreativitasnya bisa diandalkan untuk mengelola bisnis yang menguntungkan.

“Kreativitas berbeda dengan IQ yang bersifat bawaan atau given.  Kreativitas merupakan skill yang dapat dilatih dan dibentuk. Tak seperti tingkat IQ yang cenderung tak berubah meskipun bertambah usia dan pengalaman. Jadi siapapun Anda, sekalipun memiliki IQ yang rendah, tak mustahil menjadi kreatif,” tutur Yoris.

Seperti pengalaman Nisa Hariadi (43) yang tak menyangka bisa menjadi perajin quilt. Saat sempat tinggal di Amerika Serikat, Nisa yang memang menyukai kerajinan tangan mulai belajar quilting, seni menggabungkan potongan kain khas negara tersebut. Ketika kembali ke Indonesia, kesempatan menjual hasil buatan tangannya terbuka lebar mengingat produk quilt masih terbilang langka di sini. “Alasan saya belajar quilting awalnya hanya untuk kesenangan diri sendiri dan dipakai sendiri. Di luar dugaan, ternyata banyak yang berminat membeli karya saya. Tak mau membuang kesempatan itu, saya berkomitmen menjadikan bisnis yang serius,” papar Nisa yang kini telah meraup omzet puluhan juta per bulan dari menjual produk quilt. Bukan itu saja, bermodalkan kreativitas yang dimiliki, Nisa juga membuka kursus quilting. Bahkan sekitar 35-45% dari 300 alumni dari kelas pelatihannya ternyata mengikuti jejaknya dengan berbisnis quilt.

Apa yang dilakukan Nisa seakan membuktikan konsep happynomics, yakni melakukan hal yang kita sukai atau sesuai passion tapi sekaligus bernilai ekonomis. Kreativitas seharusnya mampu menciptakan sesuatu yang dibutuhkan oleh segmen pasar tertentu sehingga punya daya jual. Yoris menjelaskan, “Sebuah kreativitas bisa bernilai ekonomis bila ada demand. Sayang sekali kalau hasil kreativitas yang sangat bagus ternyata tidak bisa dijual dan akhirnya hanya bisa dinikmati sendiri.”

Untuk menerapkan bisnis berkonsep happynomics, penulis buku ‘Oh My Godness: Buku Pintar Seorang Creative Junkies’ ini memberikan rumus 70:20:10. Artinya, 70% untuk menjalani bisnis yang fokus pada nilai ekonomis atau bisa menghasilkan profit yang besar. Porsi sisanya untuk mencoba bisnis yang menitik-beratkan pada kepuasan batin. Yakni 20% untuk bisnis yang sesuai idealisme dan masih mendapatkan keuntungan meskipun jumlahnya kecil. Dan 10% untuk bisnis yang inovatif namun berisiko tinggi karena peluang mendapatkan keuntungan masih diragukan. Dengan demikian, jika bisnis ‘coba-coba’ ternyata gagal maka masih bisa terselamatkan.    
Berkreasi & berkompetisi
Produk yang inovatif dipastikan lebih mudah dijual. Namun bila sulit menciptakan inovasi yang benar-benar orisinil, menurut Yoris, kita bisa membuat hal baru dari ide yang lama. Mengadopsi ide yang sudah ada bukanlah hal buruk karena kita dapat mengambil inspirasi dari manapun yang telah terbukti sukses. Namun Yoris mengingatkan, “Be inspired, don’t copy paste. Ketika mengambil inspirasi, kita harus meramunya lagi dengan memberikan sentuhan baru dan disesuaikan dengan konsep bisnis kita sendiri supaya tetap ‘Be YoUnique’. Dengan begitu, ada diferensiasi dengan produk yang telah ada di pasaran. Istilahnya, same things, different strokes.”
  
Kalau hanya copy-paste, lanjut Yoris, berarti telah terjebak pada ‘me-tooism’ atau sekadar ikut-ikutan saja. Follower yang tergolong copycat tak akan mampu menyamai apalagi mengungguli trendsetter. Seperti yang dilakukan Nisa. Meskipun mengadopsi teknik quilting dari negara luar, namun ia memasukkan kultur lokal dalam berkreasi supaya produknya tetap unik, di antaranya membuat quilt dari bahan batik.

Memulai bisnis yang berbasis kreativitas sebaiknya dilakukan dari hal terkecil, sesuai kapasitas kita. Every big step starts with an inch, begitu istilah yang dipakai Yoris. “Lebih baik melangkah setahap demi setahap tapi semakin lama semakin bagus dibandingkan terburu-buru menggapai target yang besar tapi pada akhirnya berantakan,” ungkapnya. Seiring perjalanan waktu, proses perbaikan bisa dilakukan terus-menerus. Seperti halnya sistem manajemen Kaizen yang banyak diterapkan di perusahaan besar di Jepang yang kemudian ditiru di berbagai negara lain. Prinsip Kaizen sangat sederhana, yakni bagaimana membuat suatu inovasi secara bertahap untuk seluruh lini perusahaan dari atas sampai bawah, sehingga menghasilkan produk berdaya saing tinggi. Dengan begitu, prinsip pengembangan produk tidak lagi didasarkan atas ‘apa yang diinginkan perusahaan’ tetapi lebih ditekankan pada ‘apa yang diinginkan oleh konsumen’.

Bidang kreatif bersifat sangat dinamis. Dengan tingkat persaingan yang ketat membuat berbagai perusahaan mau tidak mau harus terus berinovasi. Kalau tidak, bersiaplah tergilas oleh kompetitior. Selain berani berkompetisi, seorang entrepreneur di bidang kreatif juga dituntut berani menanggung risiko yang terburuk sekalipun. Meskipun telah dipersiapkan secara matang, namun tak mustahil bisnis tersebut gagal di tengah jalan. Berpikir kreatif tak hanya dalam merumuskan produk yang akan dijual saja, namun juga ketika membuat dan menerapkan strategi bisnis.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking